Pernahkah suatu hari kamu mematikan televise, dan merasakan ketenangan sejenak. Kamu nggak usah baca Koran satu hari, dan menikmati dirimu, keasyikan-keasyikanmu. Kamumematikan radio, kamu mematikan HP, kamu singkirkan apa saja, lalu diam dengan keseriusan menikmati hal-hal sepele: misalnya duduk di teras sambil menyduh kopi dan melihat dengan teliti bagaimana cahaya matahari bergerak menyapa bunga-bunga potmu yang gelisah.
Atau, kalu kamu tinggal ditengah padatnya pemukiman kota dan kebetulan rumahmu bertingkat dua, maka berdirilah di balkon, lihatlah ke seantero pandanganmu bagaimana udara kota selalu berubah menjadi padat berwarna abu-abu ketika matahari naik—seperti hamparan kabut, akantetapi pengap mengancam dari ketinggian. Lalu hiruk-pikuk, suara-suara knalpot, dan orang-orang sibuk berlalu-lalang tak pernah hentidari pagi hingga malam hari (pernahkah kamu, satu hari saja menjaga jarak, lantas bertanya dengan penuh keheranan: apa sesungguhnya yang mereka cari?). dari atas kereta listrik orang-orang berjubel, dari atas bus kamu lihat kampung-kampung padat dengan beratus jemuran silang-sengkarut, sampah-sampah menggunung got-got meluber ke jalan. hujan deras kotor kemarau panas bau sangat menguap. Ada copet. Ada maling. Terminal-terminal ribut. Stasiun gemuruh, ada banyak calo, ada orang ditodong. Mobil-mobil bagus menjempt orang berdasi. Di pagar-pagar tinggi, orang-orang kaya menjaga diri dari mati: dijaga dua orang satpam, seekor anjing, dan seluruh rumah dibatasi teralis besi. Pergilah ke plasa, pergilah ke mall, ke salon, ke klinik kebugaran, ke bioskop. Pernahkah pada satu hari kamu mematikan televisi, tidak membaca koransatu hari, dan berpikir untuk masuk ke dalam dirimu sendiri?
Pada batas tertentu, seorang pengarang harus menciptakan jeda. Yakni sebuah fase diman ia bisa merenungkan seluruh persoalan yang ia lihat,yang ia baca, dan ia alami; untuk menarik batas ke dalam dirinya, kemudian melahirkan sebuah kesimpulan paling inti dari apa yang ia rasakan. Jika buah dari pikiran dan sekian banyak argumentasi adalah ekspresi, maka karya sastra adalah refleksi. Karya sastra yang baik, akan berusaha mengurai dan memilahseluruh persoalan yang ada dan hanya menyajikan satu esensi yang dianggab paling mewakili.
Contoh sederhana bisa kita lihat misalkan pada karya Hamsad Rangkuti, sebuah cerpen berjudul Rumah Jamban yang mengisahkan bagaimana ketidakadilan antara kaya dan miskin, penindasan si kaya terhadap si miskin, akan sangat membahayakan kondisi sebuah negara. Hamsad Rangkuti , dalam cerpen itu sama sekali tidak mengumbar ekspresi dengan sekian macam argumentasi “akal” tentang ketidakadilan atau defenisi-defenisi tentang pinindasan; akan tetapi ia cukup membuat refleksi dengan mengurai seluruh persoalan dan memerasnya menjadi satu esensi (titik pusat) dengan sangat cerdas. Dalam cerpen itu, Hamsad Rangkuti menciptakan seorang tokoh yang karena digusur dengan paksa, kemudian ia pindah ke kampung membangun sebuah kolam. Seluruh orang miskin di kampung itu digiring ke kolam (dengan iming-iming sebuah rokok) untuk “berlangganan” membuang tinja di atasnya.ikan-ikan gemuk yang setiap pagi dan sore memakan tinja orang-orang miskin, di lemparkannya ke supermarket-supermarket di kota, dan dibeli oleh orang-orang kaya di kota tragis, menggelikan, sekaligus menyimpan kekuatan besar karena yang dihimpun adalah empati. Bukan jargon-jargon, defenisi-defenisi, apalagi argumentasi dan nasehat-nasehat vulgar yang kadangkala—kalau sering-sering digunakan dalam karya sastra—akan menjemukan pembacanya.
* * *
Pada kesempatan kali ini saya akan memilih sebuah cerpen yang sangat mengundang empati. Sebuah cerita pendek yang mengandung kritik—yang sesungguhnyateramat pedas—terhadap perilaku para pemakai jilbab yang “memakainya untuk tujuan tertentu”. Ditulis dengan amat sangat lancar oleh Wince Sindria dengan judul Sang Putri.
Ditulis dengan gaya tutur seorang pendongeng, Wince Sindria memerlukan seorang tokoh yang dengan terpaksa harus berjilbab karena kepatuhan terhadap orang tua: “ingin sekali aku iklas dengan kaedaanku, tapi tiap kali terik matahariibukota menyengatku dan keringat membanjiri bajuku, aku tidak bisa tidak menyesali ayah. Kenapa harus dipaksakan? Hidayah jelas belum datang padaku, jadi kenapa ayah tidak membiarkan aku mengenakan busana yang aku sukai hingga hidayah itu benar-benar datang? Toh aku tidak akan mungkin membuat malu ayah dengan memakai baju-baju ketat atau baju-baju yang kekurangan bahan seperti yang disukai sebagian gadis muda di metropolitan ini.”.
Tokoh utama, sejak awal oleh pengarang dibenturkan dengan keberuntungan tetangganya, yakni Miana, gadis sebaya yang dianugrahi berbagai-macam kesempurnaan: “dia cantik, baik, pintar, populer, bisa dikatakan dia memiliki segala yang didambakan seorang perempuan. Dan seperti belum cukup anugrah yang didapatnya, takdir Allah juga menempatkannya di sebuah keluarga harmonis yang berkecukupan.” Belum cukup dengan itu, Miana pun terpilih menjadi Putri Indonesia, Miana muncul di tokoh utama dengan berjilbab! Subhanallah. Alangkah mudah Allah melimpahkan berbagai macam anugrah, termasuk hidayah pada tetangganya itu (Miana) yang—dari segi apa pun—lebih memiliki keberuntungan dibanding dirinya.
Wince Sandria, dengan amat cermat mengemas ketegangannya pembaca lewat penajaman konflik psikologis yang semakin meruncing: Miana yang sudahdiberkahi berbagai macam keberuntungan itu, tiba-tiba pula meminta agar diizinkan untuk membantu mengajaranak-anak di panti asuhan milik ayahnya. Kenapa yang harus Miana yang harus bergerak? Kenapa bukan dirinya, yang sudah dejak lama diminta, tetapi selalu menolak? Kontradiksi semacam ini terus dibina oleh Wince Sandria, dan berakhir ketika sebuah tayangan televisi mengiklankan sebuah sinetron yang dibintangioleh Miana, dan pertemuan kembali tokoh utama dengan Miana yang sama sekali tidak berniat berjilbab. Ia berjilbab hanya untuk latihan penghayatan peran. Dan Miana, yang mantan Putri Indonesia itu, memang cita-cita akhirnya adalah menjadi bintang sinetron!
Ada dua hal yang dibidik dalam cerpen ini:
[1] betapa sulit sesungguhnya hidayah itu, dan untuk sebuah hidayah dibutuhkan sebuah proses,
[2] mengkritik dengan pedas fenomena jilbab yang hanya sekedar alat (dan pengarang dengan tepat membidik simbol-simbol dari dunia televisi).
Tapi sekali lagi, meskipun kritiknya cukup kencang terasa, Wince Sandria tidak terjebak pada pengungkapan emosi-emosi (kegeraman) lewat ekspresi luar berupa definisi. Ia berbicara tidak dengan dominasi pikiran, Saya kira, inilah salah satu cerpen yang sangat cukup memadai sebagai contoh berbagai sebuah tema dibangun dengan rapi, dan melahirkan satu perenungan, sekaligus keindahan hikmah dari sebuah cerita.
sumber: annida
0 komentar:
Posting Komentar